Rabu, 06 Agustus 2014

Rate Sammang Di Pambusuang

Tradisi Rate’ Sammang di Masjid Attaqwa Pambusuang
Tradisi Rate’ Sammang di Masjid Besar At-Taqwa Pambusuang ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu. Tidak diketahui dengan pasti siapa yang pertamakali memperkenalkan dan memulai tradisi tersebut. Menurut keterangan dari K.H. Syuaib, Imam Masjid Syuhada Polewali yang berasal dari Pambusuang bahwa tradisi tersebut sudah mulai diadakan di Masjid Pambusuang sejak tahun 1900-an seiring berkembangnya Islam di Pambusuang. Sementara itu, menurut keterangan dari para orang tua, bahwa tradisi rate’ sammang di Masjid Pambusuang ini sudah berlangsung sejak mereka masih kecil dan cara pelaksanaannya masih seperti yang sekarang dilakukan. Hal ini sesuai keterangan K.H. Muhammad Yasin (70 Tahun) mantan Imam Masjid Attaqwa Pambusuang.

Makna dan Asal-usul Rate’ Sammang
Istilah Rate’ (ratib) sama dengan zikir atau wirid. Rate’ Sammang berasal dari bahasa Arab dan terdiri dari dua kosa kata raatib yang berarti wiridan atau zikir dan Samman adalah nama salah satu tarekat dari Hijaz/jazirah Arab yaitu tarekat Sammaniyah yang ada di Madinah (waktu itu belum ada Negara Arab Saudi). Ratib Samman seperti halnya Ratibul Haddad yang juga meruapakan wiridan yang sampai saat ini juga masih tetap eksis dan dibacakan (di beberapa Masjid dan Mushalla yang ada di Pambusuang dan sekitarnya) tiap malam pada bulan ramadhan sebelum pelaksanaan shalat Isya dan tarawih. Ratib Saman atau rate’ sammang ini adalah bagian dari tarekat Sammaniyah.

Tarekat Sammaniyah (salah satu tarekat yang dianggap sahih dan mu’tabarah di Indonesia) yang merupakan asal ratib samman ini didirikan oleh Syekh Muhammad Abd Karim Samman Al-Madaniy (1718-1775M). Beliau adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Dalam sebuah literature disebutkan bahwa Syekh Samman ini pada mulanya dibaiat menjadi pengikut berbagai tarekat disamping tarekat Kahalawatiyah (terutama Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syaziliyah) dan memadukan berbagai unsure dari tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat khalawatiyah yang khas dan berdiri sendiri, yang kemudian disebut Tarekat Sammaniyah. Murid dari Indonesia yang paling terkenal yang berguru pada Syekh Samman ini adalah Syekh Abd. Shamad Al-Falimbaniy yang dianggap sebagai pembawa tarekat Sammaniy ke Nusantara terutama Sumatra dan daerah sekitarnya, serta Syekh Muahammad Arsyad Al-Banjari serta Syekh Abdul Wahab Bugis.

Di Indonesia Tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan berpengaruh luas di Aceh, Palembang, dan daerah lainnya di Sumatra serta di Banten. Sedangkan di Sulawesi, menurut sebuah versi bahwa ia pertamakali dibawa oleh Syekh Yusuf al-Makassari. Dan Yang membawa ke daerah Bugis (sidenreng) adalah Syekh Abdul wahab Bugis yang sepulangnya dari Mekah sempat bermukim dan berkeluarga di Kalimantan (Martapura).

Yang menjadi pertanyaan, siapakah yang membawa ratib samman ini ke Pambusuang?. Hampir tidak ditemukan data yang pasti tentang siapa yang membawa ratib samman ini ke Pambusuang. Menurut hemat penulis, kemungkinan ratib samman yang ada di Pambusuang ini di bawa oleh para ulama dari daerah Bugis yang notabene di daerah tersebut sudah bersentuhan dengan tarekat sammaniyah ini lebih awal (abad 17) dan populer dengan nama Khalwatiyah Sammaniyah. Ditambah lagi banyaknya ditemukan di Pambusuang kitab-kitab tasawwuf terdahulu (tassopu’) yang beraksara lontara serta berbahasa Bugis. Bahkan di Pambusuang sampai dengan tahun 1990an bahasa pengantar yang dipakai oleh para kiyai dalam memberikan pengajian adalah kebanyakan bahasa Bugis.

Menurut Abu Bakar Aceh dalam bukunya “Pengantar Ilmu Tasawwuf” (1980:340) bahwa ciri-ciri tarekat ini antara lain adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dengan kalimat la ilaha illa Allah, disamping itu juga terkenal dengan ratib samman-nya yang hanya mempergunakan kata Huw (Dia allah) ketika sudah larut dalam berwirid. Adapun ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman ini anatar lain adalah memeprbanyak shalat dan zikir, lemah lembut kepada fakir miskin, tidak cinta dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, serta tauhid kepada Allah dalam zat, sifat, dan af’al-Nya.

Wirid dan Gerakan Rate’ Sammang
Menurut Snouck Horgonje seperti dikutip Alwy Shihab (2009: 215), Ratib Samman sangat terkenal di Indonesia, namun sudah banyak mengalami modivikasi. Bahkan dikatakan juga bahwa ratib samman tidak banyak berbeda dengan ratib tarekat yang lain, perbedaanya hanya terletak pada gerakan-gerakan anggota badan ketika membacanya.

Kalau kita coba bandingkan gerakan ratib samman (rate’ sammang) yang ada Pambusuang dengan yang ada di tempat lain misalnya di Sumatra ataupun di Kalimantan, maka ada perbedaan dalam hal gerakan maupun waktu pelaksanaannya. Adapun wiridnya bisa dikatakan hampir sama. Di daerah lain misalnya, ratib samman biasanya dilakukan ba’da salat Isya bahkan sampai subuh. Sementara di Pambusuang hanya dilakukan di mesjid setelah melaksanakan salat tarwih dan salat witir. Bahkan yang lebih rutin dilakukan adalah membaca ratib al-haddad yang notabene ratib ini berafiliasi pada trekat Al-Haddad.

Hal ini boleh jadi karena di Pambusuang sejak dahulu tidak ada tarekat yang secara resmi dianut oleh masyarakat Pambusuang. Sehingga terdapat berbagai wiridan yang notabene berafiliasi atau berasal dari beberapa tarekat yang mu’tabarah, misalnya ratib samman yang berakar pada tarekat samman dan ratib Haddad yang bersal dari tarekat Al-Haddad yang didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad Alhaddad).

Mungkin ini juga salah satu keunikan Pambusuang yang dahulu terkenal sebagai “Gudangnya” para ulama di Tanah Mandar yang para ualamanya tidak menganut secara resmi aliran tarekat tertentu dan hal ini mengakibatkan terdapatnya berbagai macam wiridan atau zikir yang berafiliasi pada berbagai macam aliran tarekat mu’tabarah, seperti tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Khalawatiah, Sammaniyah, Tarekat Al-Haddad, Al-Khalidiyah dan sebagainya.

Biasanya, ketika suatu daerah tidak berkembang suatu tarekat, maka biasanya organsasi keagamaan lain seperti halnya Muhammadiyah lebih mudah berkembang. Namun kenyatannya di Pambusuang keduanya itu tidak berkembang sekalipun pernah ada usaha untuk itu jauh sebelum Indonseia merdeka.
Oleh karena ratib samman telah mengalami berbagai macam modivikasi, maka ratib samman (rate’ sammang) yang di tradisikan di Pambusuang ini mempunyai ciri dan cara tersendiri yang berbeda di daerah lain. Sekalipun tujannya sama, yaitu untuk mengingat Allah dan meminta perlindungan kepada-Nya agar terhindar dari bala’ dan bencana serta bertaqarrub kepada-Nya.

Rate’ sammang di Masjid Pambusuang dimulai dengan wirid La ilaha illa Allah dalam keadaan duduk, kemudian berdiri dengan ucapan Allah Hay (Allah Maha Hidup) dengan lantunan suara yang keras yang disertai dengan gerakan anggota tubuh yaitu tangan dan kaki dan kepala kepala juga bergoyang menyesuaikan gerakan tubuh. Dalam gerakan tersebut sepintas menyerupai bentuk tarian tertentu. Bahkan dalam tahap ini biasanya yang ikut dalam wiridan ini sangat khusyu dan biasanya kalimat Allah Hay berubah menjadi hanya kata Huw (Dia Allah). Selama pelaksanaan rate’ sammang ini, kalimat-kalimat ratib dibaca dengan irama qashidah atau nasyid, sementara yang lain hanya mengucap Allah Hay atau Huw. Kostum yang dipakai adalah biasanya pakaian putih berlengan panjang (bayu kattiung atau bayu kurung) dan berkopiah. Pelengkap lain yang tak kalah pentingnya dalam rate’ sammang ini adalah bacaan ratib berupa qasidah atau nasyid dan beberapa ayat Al-Qur’an yang berisi tentang kebesaran dan keagungan sifat sifat Allah serta berisi tentang salawat dan pujian kepada Baginda Rasulillah SAW.

Sumber: H.Ubadah, S.Ag, M.Pd.

Lihat Videonya disini: RATE SAMMANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar