Minggu, 12 Januari 2014

K.H. MUHAMMAD SHALEH

K.H Muhammad Shaleh Bin Haji Hida Binti Haji Bidara, lahir di Pambusuang kecamatan Tinambung (sekarang kecamatan Balanipa) kabupaten Polewali Mandar tahun 1913.

Ulama dikatakan sebagai pewaris kenabian, ulama dengan ilmu kewara’an, sifat rendah hati, dan kearifan yang dimiliknya, telah menempatkannya menjadi sebercak cahaya kebenaran yang menjadi penerang dan panutan bagi umat manusia di sekelilingnya. Ulama merupakan orang-orang pilihan Allah SWT yang telah diajari dan diberi hikmah kepadanya dan mereka mendapat keutamaan dan kebaikan yang melimpah.

K.H Muhammad Shaleh adalah salah satu dari mereka yang telah mendapatkan hikmah. Beliau adalah sosok yang mempunyai ilmu yang sangat dalam, namun dengan ilmunya tersebut tidak menjadikan dirinya sombong dan angkuh, bahkan sebaliknya. Beliau adalah ulama yang Wara’ dan rendah hati. Dengan sifatnya tersebut, beliau melayani semua lapisan masyarakat tanpa melihat perbedaan status sosial, agama dan suku. Ia lebih memilih hidup ditengah-tengah jamaahnya yang penuh dengan kesederhanaan, daripada menduduki jabatan yang tinggi yang jauh dari jamaahnya.

Beliau sangat arif lagi bijaksana, dengan sifatnya tersebut sehingga beliau ditempatkan menjadi sosok ulama yang cukup disegani dan diperhitungkan oleh sesama ulama pada zamannya, selain itu dia juga sebagai panutan bagi murid-murid dan masyarakat disekitarnya. K.H Muhammad Shaleh, disamping sebagai ulama yang menguasai ilmu-ilmu syariat seperti Fiqih, beliau juga adalah seorang sufi. Beliau merupakan ulama yang pertama di Indonesia yang mengajarkan tarekat Qadiriyah di Tanah Mandar. Untuk mengetahui lebih jauh tentang K.H Muhammad Shaleh mari kita simak pembahasan berikut.

K.H. Muhammad Shaleh, beliau merupakan anak keempat dari lima bersaudara, yaitu; Haji Amma Faizal (Haji Safia), Haji Muhammad Nur (Puang Razak), Haji Ahmad (Kanna Sitti Aminah), K.H. Muhammad Shaleh, dan Hj. Subaedah (Amma Aco).

K.H Muhammad Shaleh menamatkan pendidikanya di Sekolah Rakyat (SR) Pambusuang, disamping itu beliau juga belajar secara tradisional dasar-dasar ilmu agama pada beberapa guru, antara lain; K.H Sahubuddin (Guru Hawu), dan K.H Gale. Bahkan pendidikan dasarnya diawali oleh orang tuanya sendiri, seperti belajar membaca Al-Qur’an, belajar Tajwid, Asmaul Husna, ilmu fiqih serta mendalami ilmu Tafsir dan Hadits.

Pada usia 15 tahun ia berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di Mekah, beliau tidak langsung pulang ketika ibadah haji usai. Ia tinggal di Mekah sengaja untuk bermukim di tanah suci untuk belajar agama. Mula-mula ia belajar di Madrasah Al-Falah. Pertama kali ia diajar oleh sejumlah murid yang telah senior pada madrasah itu, tetapi 3 (tiga) tahun kemudian karena ketekunannya belajar, keadaan belajar berbalik. Ia kemudian ditugasi kepala madarsah untuk mengajar mantan guru (murid senior) yang juga mengajarnya pada waktu pertama kali masuk di madrasah Al-Falah.

Karena hubungan dengan orang tuanya di kampung tidak selancar dengan apa yang diharapkan, beliau berkenalan dengan seorang pemilik toko buku dekat madrasah. Dari situlah ia memanfaatkan waktunya untuk membaca semua buku-buku yang ada di toko itu. Satu kenangan manis selalu diingatnya bahkan sampai akhir hayatnya, yaitu pengalam belajar disana.

Ada kebiasaan beliau saat tidur, beliau selalu menggunakan bantal buah kelapa yang mudah terguling. Cara itu ditempuh untuk memudahkan tersadar (bangun) kembali bila kepalanya bergerak dan jatuh dari bantal kelapa itu. Begitu ia terbangun ia akan langsung mengingat-ingat kembali pelajaran yang sudah dibacanya dan dipelajarinya. Menurut beberapa muridnya yang pernah diceritakan akan cara belajar seperti itu, beliau melakukannya selama berada di Mekah, lima belas tahun lamanya.

Lima belas tahun lamanya menekuni pelajaran di Mekah, dalam usia 20 tahun ia pun mendapat kepercayaan yang istimewa dari gurunya. Beliau diperkenankan mengajar di Mesjid Al-Haram. Suatu prestasi yang luar biasa bagi santri-santri “ajam” (bukan arab). Pada waktu malam yang larut saat ia masih dalam proses belajar mengajar ia menyempatkan waktunya belajar tasawuf. Tengah malam ia melakukan meditasi yang dalam. Beliau kemudian mendapatkan predikat khusus di kalangan para penganut Tariat. Sampai akhir hayatnya namanya menjulang tinggi dimana-mana dan muridnya tersebar di pelosok tanah air.

Beberapa guru beliau yang sangat berjasa mengantar beliau menjadi seorang ulama besar antara lain; Sayyid Alwi Al Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Muhammad Alaydrus (Mursyid tarikat), Syekh Hasan Al-Masysyat dan beberapa ulama terkemuka lainnya. Konon sewaktu masih dalam proses belajar, beliau menunjukkan ketekunannya yang luar biasa ketaatannya kepada gurunya tanpa pamrih. Bahkan selama belajar pada sayyid Alwi Al-Maliki ia menjadi penuntun unta terhadap gurunya khususnya dalam perjalanan antara Mekah - Madinah.

Diceritakan bahwa dalam perjalanan antara Mekah dan Madinah, karena keamanan dijalan kurang terjamin, mereka singgah berkemah di jalanan. Suatu saat ia didapati gurunya sedang mengisap rokok, Gurunya Sayyid Alwi Al-Maliki langsung mengambil rokok itu dari tangan beliau dan ujungnya yang terbakar ditekankan di telapak tangan beliau. Rokok itu dipadamkan di telapak tangan muridnya yang taat itu, beliau yang diperlakukan seperti itu tidak merasa jengkel sedikitpun bahkan dianggap sebagai pelajaran yang tidak boleh dilakukannya sepanjang gurunya tidak membiarkannya. Pada saat Sayyid Alwi memadamkan rokok ketelapak tangan beliau, ia memang merasakan terbakar kulit tangannya tapi ia tidak pernah menengadah keatas untuk merintih, malah hal itu dibiarkannya berlalu sampai semuanya selesai. Sejak saat itu, gurunya Sayyid Alwi melihat suatu keistimewaan dihadapannya.

Dalam perjalanan Mekah-Madinah, beliau K.H. Muhammad Shaleh menghafal Hadits Muwatta’ Imam Malik berkat gurunya, murid yang satu ini pasti memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang perlu dikembangkan secara itensif. Kepercayaan Sayyid Alwi Almaliki setelah itu kian besar, sehingga sebagian besar ilmunya diberikan kepada K.H. Muhammad Shaleh. Ia pun dianggap sebagai keluarga sendiri. Di Mekah beliau mendalami ulum Al-Qur’an, ulum al-Hadits, usul al-fiqih, ulum al-lugah teutama tasawuf.

Setelah K.H Muhammad Shaleh menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan di Mekah, ia menyadari kewajibannya sebagai seorang muslim terpanggil untuk melaksanakan tugas suci yaitu menyampaikan risalah yang dibawa oleh baginda Rasulullah Muhammad SAW, dalam rangka mengembangkan syiar islam. Untuk merealisasikan panggilan suci tersebut, beliau bermaksud pulang ke Indonesia. Atas petunjuk K.H Abdurrahman Ambo Dalle, ia pun dinikahkan dengan Hj. Sitti Saleha (anak perempuan H. Lomma). sayang hubungan suami istri dengan salehah tidak belangsung lama, karena wanita Bugis tidak tahan tinggal di Mandar. Karena tidak ada alternatif lain, beliau pun pisah dengan istri pertamanya, dan tdak lama kemudian ia menikah lagi dengan Hj. Harah.

Syekh Alwi al Maliki, gurunya yang sangat dikagumi ketika di Mekah memang meramalkan bahwa K.H. Muhammad Shaleh akan menjadi orang yang memiliki keistimewaan. Konon menurut ramalan Syekh Alwi, beliau K.H. Muhammad Shaleh akan menikah sampai tujuh kali, dan hal ini memang terbukti. Dari pernikahan ke-enamnya, K.H. Muhammad Shaleh mendapatkan keturunan bernama Drs. H. Thasim. Sedang pernikahan yang terakhir dengan Hj. Mulia Sule, ia memiliki keturunan; Hj. Nasma, K.H. Muhammad Ilham Shaleh M.ag, Nelia, Jirana SE, Dra. Namirah, Drs. Padlullah, dan Ahrar.

Jenjang perjalanan hidup K.H. Muhammad Shaleh tiba di Mandar cukup bervariasi, pada tahun 1942-1950 ia menjadi guru pesantren. Kemudian menjadi syara’ : Majelis pertimbangan di Balanipa. Pernah juga menjadi naib di Balanipa, tgl 1 maret 1959 ia menjabat ketua pengadilan agama mahkamah syariat Majene hingga pensiun. Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai Qadhi di Mamuju.

Sejak resmi menduduki jabatan itu, K.H. Muhammad Shaleh mendapat ujian dari masyrakat setempat yaitu berupa guna-guna (sihir) dengan berbagai cara. Perbuatan terserbut dilakukan penduduk setempat, tidak bermaksud untuk mencelakakan, akan tetapi hendak mnguji sejauh mana sang Qadhi dapat menerima pertolongan dari Allah SWT. Karena keberhasilannya mematikan semua sihir yang ditujukan kepadanya, K.H. Muhammad Shaleh dalam waktu yang tidak lama berhasil membina masyarakat menjadi taat terhadap agama. Disamping tugas-tugas formal yang diembangnya, ia juga aktif sebagai seorang mursyid yang mengajarkan tasawuf kepada murid-muridnya. Bahkan ajaran-ajarannya inilah yang kemudian sampai kepada jamaah Qadiriyah saat ini, melalui murid-muridnya yang ketika beliau masih hidup ia ditunjuk langsung untuk membantu dan mendampingi beliau mendengarkan ilmu tasawuf melalui ajaran tarekat Qadiriyah.

Pada tanggal 10 april 1977 Masehi, bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul akhir 1397 H, K.H. Muhammad Shaleh berpulang ke rahmatullah, yang kemudian dimakamkan di tanah kelahirannya di Pambusuang. Tanggal 13 apil 1977 M, tiga hari setelah beliau wafat atau bertepatan tanggal 15 Rabiul akhir 1387 H. Murid-murid terdekat bersama dengan jamaah Qadiriyah, serta keluarganya almarhum K.H. Muhammad Shaleh, mengadakan pertemuan guna membicarakan kelanjutan pengajaran dan perjuangan Annaggurutta almarhum K.H. Muhammad Shaleh. Pada saat itulah seluruh jamaah yang diperkuat oleh keluarga Annanggurutta K.H. Muhammad Shaleh bersatu menunjuk Drs. H. Sahabuddin sebagai penanggung jawab serta pelanjut ajaran Annanggurutta K.H. Muhammad Shaleh. Namun saat itu Drs. H. Sahubuddin tidak bersedia, dan menyerahkan penanggung jawab Qadiriyah secara umum kepada isteri Annanggurutta, Ibu Hj. Mulia Sule dan pelaksana teknisi serta pelanjut pengajaran tarekat diserahkan kepada Drs. H. Sahabuddin bersama dengan murid-murid yang telah ditunjuk oleh beliau semasa hidupnya.

Tarekat Qadiriyah, adalah tarekat yang didirikan oleh sultan Auliya Syekh Abdul Qodir Jailani, yang dilahirkan di Bagdad pada tanggal 1 Ramadhan 471 H (1077 M).
Syekh Abdul Qodir Jailani adalah seorang tokoh Sufi yang terkemuka, ajaran-ajarannya ber-intikan amalan moral islam yang bernafaskan semangat ke-islaman yang mengutamakan kehidupan kerohanian dengan lebih menonjolkan pengamalan terhadap prilaku kehidupan Rasullulah Muhammad SAW.

Setelah Syekh Abdul Qodir Jailani berpulang ke Rahmatullah, ajaran-ajarannya terutama ajaran kerohaniannya dilanjutkan oleh anak dan murid-muridnya. Untuk mengentensifkan ajaran-ajaran tersebut dan untuk mengorganisir murid-murid beliau, maka anak-anak dan murid-muridnya kemudian membentuk suatu wadah jalan kerohanian (tarekat) terhadap ajaran-ajaran Syekh Abdul Qodir Jailani dengan menisbatkan kepada Syekh Abdul Qodir Jailani dengan nama Tarekat Qadiriyah. Tarekat inilah kemudian sampai kepada oleh K.H. Muhammad Shaleh melalui gurunnya Syekh Alwi Al-Maliki di Mekah al- Mukarrahmah. Adapun tema sentral dari ajaran yang diberikan oleh K.H. Muhammad Shaleh terhadap murid-muridnya melalui tarekat Qadiriyah yang diajarkannya adalah mengenai ajaran tentang “Wushul ilallah” (kesampaian kepada Allah). Adapun penjabarannya terdiri dari; Dzikir (jalan untuk sampai kepada Allah), Ma’rifat (hakekat kesampaian kepada Allah), Fana dan Tajalli (keadaan kesampaian kepada Allah), dan Mawani (pengendalian diri dalam suluk).

Sementara hidup K.H. Muhammad Shaleh dalam mengembangkan ajaran-ajaran tasawufnya, dilaksanakan lewat pengajian-pengajian yang rutin dilakukan untuk mengikat para jamaah pada pengajian yang dilaksanakan tersebut.

Ajaran-ajaran yang bersifat spiritual ini, semakin merebak di segenap wilayah Mandar, sehingga dalam perkembangannya berikutnya, karena semakin bertambah banyakmua jamaah, K.H. Muhammad Shaleh, secara formal menunjuk beberapa muridnya yang dianggap lebih cukup ilmu dan kearifannya, untuk membantu beliau dalam mengajarkan dan mengembangkan ajaran tarekat ini. Sehingga diantara muridnya ada yang secara khusus menangani daerah-daerah tertentu yang telah ditetapkan sendiri, seperti berikut ini:

1. H. Abd. Hakim di Tanmung Polman
2. H. Mustafa di Tanjung Batu Majene
3. H. Pua Ria di Camba Majene
4. H. Muhammad/Hasan Pua Harisah di Saleppa Majene
5. Abd. Hamid/Baharuddin di Salabose
6. M. Yahya (Imam Tananga) di Majene
7. Abd. Rasyid Abdullah di Pangaliali Majene
8. Drs.H. Sahabuddin di Majene dan Ternate

Bahkan pada acara-acara tertentu Drs. H. Sahabuddin dipercaya oleh K.H. Muhammad Shaleh untuk mendampinginya, dan bahkan suatu ketika beliau menunjuk Drs. H. Sahabuddin menggantikan dirinya untuk berangkat ke Balik Papan atas undangan Pemerintah Daerah setempat, demikian pula dalam suatu acara 27 Ramadhan yang dipusatkan di Bukku Majene.

Sepeninggalan K.H. Muhammad Shaleh, Tarekat Qadiriyah, tidak hanya ramai dan berkembangan di daerah wilayah Mandar di bawah arahan murid-murid beliau, akan tetapi juga telah berkembang diluar daerah Mandar. Banyak orang berasal dari daerah lain, seperti kota sengkang, Palopo, Bone, Barru, Gowa, dan daerah-daerah lainnya datang secara khusus untuk mempelajari tarekat ini lewat murid K.H Muhammad Shaleh, yaitu Prof. Drs. K.H. Sahabuddin. Bahkan Tarekat Qadiriyah kemudian berkembang diluar daratan Sulawesi Selatan seperti Palu, Ambon, Ternate.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar